This site uses cookies.
Some of these cookies are essential to the operation of the site,
while others help to improve your experience by providing insights into how the site is being used.
For more information, please see the ProZ.com privacy policy.
Freelance translator and/or interpreter, Verified site user
Data security
This person has a SecurePRO™ card. Because this person is not a ProZ.com Plus subscriber, to view his or her SecurePRO™ card you must be a ProZ.com Business member or Plus subscriber.
Indonesian to English: 'Garuda Muda' Kalah, Menpora Minta Tak Kecilkan Cabang Lain
Source text - Indonesian Menpora Andi Mallarangeng tetap memuji perjuangan 'Garuda Muda', meski kalah di final. Namun, ia juga mengingatkan untuk tidak mengecilkan olahraga lainnya.
Timnas U-23 Indonesia gagal meraih medali emas setelah kalah dari Malaysia melalui adu penalti, Senin (21/11/2011) malam WIB. Andi tidak menyesali kekalahan itu, karena baginya Egi Melgiansyah dkk. sudah bermain dengan cukup baik.
"Garuda muda luar biasa. Ini bekal ke depan untuk membangun timnas yang tangguh. Indonesia menyerang terus. Tapi, akhirnya kalah adu penalti. Lain kali kita menang," ujarnya.
"Ibarat makanan, rasanya sudah enak, hanya kurang sambelnya saja," lanjutnya lagi.
Meski timnas U-23 kalah, Indonesia sudah dipastikan menjadi juara umum SEA Games XXVI. Oleh karenanya, Andi meminta untuk mengingat juga keberhasilan cabang olahraga lain.
"Kita tidak boleh mengecilkan artinya olahraga lain, kita masih berjaya," tukasnya.
Translation - English The Youth and Sports Affair Minister Andi Mallarangeng praised the spirit of ‘Garuda Muda’, although they lost in the final. However, he reminded not to belittle other sports.
The Indonesian U-23 national team failed to get the gold medal after losing from Malaysia through penalty shootout on Monday (21/11/2011) night Indonesian time. Andi didn’t regret the lost, because to him Egi Melgiansyah and team had played well.
“Garuda muda played wonderfully. This will be our base to build a strong national team. Indonesia was attacking all the time. But we lost through the penalty. Next time we’ll win,” he said.
“Like the food, the taste is good, just lack of chilli sauce,” he continued.
Although U-23 national team lost, Indonesia has secured the place as the winner of SEA Games XXVI. That’s why Andi asked to remember other sports success as well.
“We shouldn’t belittle other sports, we’re still victorious,” he said.
English to Indonesian: Berkah dari Kerendahan Hati General field: Other Detailed field: Religion
Source text - English The Blessings of Humility
By Jerry Bridges About Humility
Part of the series Tabletalk
The two Christian character traits taught most frequently in the New Testament are love and humility. The classic passage on love is, of course, 1 Corinthians 13. The classic passage on humility, though it never uses the word, is Matthew 5:2–12, popularly known as the Beatitudes. And just as 1 Corinthians describes love, so the Beatitudes describe humility.
Jesus began His teaching with, “Blessed are the poor in spirit” (Matt. 5:3). The poor in spirit are those who have become convinced of their spiritual poverty. They see their continued sinfulness even as believers. In contrast to the self-righteous Pharisee who prayed, “God, I thank you that I am not like other men,” they identify with the tax collector who cried out, “God, be merciful to me, a sinner!” (Luke 18:9–13). This is where humility begins, with a deep sense of our own continued sinfulness.
Jesus continued, “Blessed are those who mourn” (Matt. 5:4). This second beatitude follows naturally the first. Those who see their continued sinfulness mourn over it. They long to see more progress in putting to death the persistent sins in their lives — even those “respectable” sins we so often tolerate in ourselves.
The third beatitude, “Blessed are the meek,” (v. 5), arises out of the first two. Meekness is not weakness of character but strength of character. It is the attitude of one who, realizing his own spiritual poverty, acknowledges he deserves nothing from the hand of God or his fellow creatures. He does not become resentful under adverse providences of God or the mistreatments of other people. He believes God will work all things for his good, so he leaves his case with God.
“Blessed are those who hunger and thirst for righteousness” (v. 6). What causes believers to hunger and thirst for righteousness? It is a growing recognition of their own continued sinfulness, coupled with the glad realization that their sins are covered by the blood of Christ and that they are clothed with His righteousness. They deeply desire to be in their experience what they are in their standing before God. They long to be freed more and more from the persistent sin patterns in their lives and to see more of those gracious traits that the Bible calls “the fruit of the Spirit.” The tension between what they desire to be and what they see themselves still to be produces a continual state of humility toward God and other people.
“Blessed are the merciful” (v. 7). Mercy in its most basic form denotes a sense of pity or compassion for those in some state of misery. But sometimes it stands for forgiveness, as when the tax collector prayed, “God, be merciful to me a sinner” (Luke 18:13). This is undoubtedly the sense in which Jesus used it here. The best description of this form of mercy is in the parable of the unforgiving servant (Matt. 18:23–35). The master had pity on the servant who owed ten thousand talents and forgave him that tremendous debt. Shortly thereafter the servant encountered a fellow servant who owed him a hundred denarii (a paltry sum relative to that which he had owed) and refused to forgive. The master, when he heard about it, said, “You wicked servant! I forgave you all that debt because you pleaded with me. And should not you have had mercy on your fellow servant, as I had mercy on you?” (vv. 32–33).
The merciful, then, are those who realize how much they have been forgiven, and they readily forgive those who sin against them. Mercifulness begins with humility, with a deep sense of one’s own spiritual poverty coupled with a growing realization of how much one has been forgiven by God.
“Blessed are the pure in heart” (Matt. 5:8). To be pure in heart is to be free from defilement in the very core of our being. It does not mean sinless perfection, but it does mean one’s life is characterized by a sincere desire for and an earnest effort to pursue that holiness without which no one will see the Lord (Heb. 12:14).
“Blessed are the peacemakers” (Matt. 5:9). A peacemaker seeks first to be at peace with others. As Paul wrote, “If possible, so far as it depends on you, live peaceably with all” (Rom. 12:18). That means we take the initiative toward peace even when we have been wronged. Only when we have this attitude toward ourselves can we seek to be a peacemaker among others.
The person who seeks to live out these seven beatitudes will usually stand out in society. One would think that people would admire and appreciate those whose lives are characterized by these traits. But the opposite is often true. Society does not appreciate humility because it is so counter to their values. As a result you may be reviled and even persecuted, but in the end you will be blessed because “God opposes the proud, but gives grace to the humble” (James 4:6).
Translation - Indonesian Berkah dari Kerendahan Hati
Oleh Jerry Bridges Tentang Kerendahan Hati
Bagian dari seri Tabletalk
Dua karakter Kristiani yang paling sering diajarkan dalam Perjanjian Baru adalah kasih dan kerendahan hati. Perikop klasik mengenai kasih adalah, tentu saja, I Korintus 13. Perikop klasik mengenai kerendahan hati, walaupun kata ini tidak pernah disebutkan di dalamnya, adalah Matius 5:2-12, yang dikenal dengan Sabda Bahagia. Dan sebagaimana I Korintus menggambarkan kasih, maka Sabda Bahagia menggambarkan kerendahan hati.
Yesus memulai pengajaranNya dengan, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah” (Mat 5:3). Orang yang miskin di hadapan Allah adalah orang yang telah menyadari kemiskinan rohaninya. Mereka melihat kedosaan mereka yang terus menerus walaupun mereka telah menjadi percaya. Berlawanan dengan orang Farisi munafik yang berdoa,”Ya Allah, aku bersyukur karena aku tidak sama seperti semua orang lain,” mereka adalah seperti pemungut cukai yang berseru, ”Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini!” (Luk 18:9-13). Inilah awal dari kerendahan hati, menyadari secara penuh tentang kedosaan kita yang terus menerus.
Yesus melanjutkan, “Berbahagialah orang yang berduka cita” (Mat 5:4). Sabda Bahagia kedua ini secara alamiah mengikuti yang pertama. Mereka yang melihat kedosaan mereka yang terus menerus berduka cita karenanya. Mereka merindukan untuk dapat melihat kemajuan di dalam usaha mereka untuk mematikan kedosaan yang menetap dalam hidup mereka – termasuk dosa-dosa “terhormat” yang seringkali kita toleransi dalam diri kita.
Sabda Bahagia ketiga, “Berbahagialah orang yang lemah lembut,” (ay. 5), muncul dari kedua sabda pertama. Kelemahlembutan bukanlah tanda dari kelemahan karakter, melainkan kekuatan karakter. Ini adalah sikap orang yang, menyadari kemiskinan rohaninya sendiri, mengakui bahwa ia tidak layak menerima pemberian dari Tuhan atau dari sesamanya. Ia tidak menjadi marah jika mengalami nasib buruk atau jika diperlakukan tidak adil oleh orang lain. Ia percaya bahwa Tuhan akan bekerja di dalam segala hal untuk mendatangkan kebaikan baginya, sehingga ia menyerahkan masalahnya kepada Tuhan.
“Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran” (ay. 6). Apa yang menyebabkan seorang percaya menjadi lapar dan haus akan kebenaran? Tumbuhnya kesadaran akan kedosaannya yang terus menerus, bersama dengan kesadaran yang menggembirakan bahwa dosa-dosanya telah ditebus oleh darah Kristus dan bahwa mereka telah mengenakan jubah KebenaranNya. Mereka memiliki kerinduan yang dalam untuk mengalami apa yang telah mereka miliki di hadapan Tuhan. Mereka rindu untuk lebih dan lebih lagi dibebaskan dari pola kedosaan yang menetap di dalam hidup mereka dan untuk melihat lebih banyak lagi karakter kasih yang dalam Alkitab dinamakan “buah-buah Roh.” Ketegangan antara keadaan yang mereka inginkan dan keadaan di mana mereka melihat diri mereka berada saat ini menyebabkan kerendahan hati yang terus menerus di hadapan Tuhan dan sesama.
“Berbahagialah orang yang murah hatinya” (ay. 7). Dalam bentuk yang paling dasar, kemurahan hati menggambarkan perasaan sayang atau belas kasihan kepada mereka yang berada dalam keadaan menderita. Tetapi kadang-kadang kemurahan hati berarti pengampunan, seperti ketika pemungut cukai berdoa, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini” (Luk 18:13). Tidak dapat diragukan lagi, arti inilah yang dimaksudkan Yesus. Gambaran yang paling baik bagi kemurahan hati ini dapat dijumpai dalam perumpamaan hamba yang tidak mau mengampuni (Mat 18:23-35). Sang raja menaruh belas kasihan kepada hamba yang berhutang sepuluh ribu talenta dan mengampuni hutangnya yang sangat besar itu. Tidak lama berselang hamba itu bertemu dengan hamba lainnya yang berhutang seratus dinar kepadanya (jumlah yang sangat remeh dibandingkan dengan jumlah hutangnya) dan ia menolak untuk mengampuninya. Sang raja, setelah mendengar tentang hal itu, berkata, “Hai hamba yang jahat! Seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkaupun harus mengasihi kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?” (ay. 32-33).
Maka, orang yang murah hati adalah orang yang menyadari betapa besar mereka telah diampuni, dan mereka bersedia untuk mengampuni orang lain yang bersalah kepada mereka. Kemurahan hati berawal dari kerendahan hati, dengan kesadaran yang mendalam mengenai kemiskinan rohaninya, bersama dengan tumbuhnya kesadaran mengenai seberapa besar ia telah diampuni oleh Tuhan.
“Berbahagialah orang yang suci hatinya” (Mat 5:8). Memiliki hati yang suci berarti bebas dari kecemaran di pusat hidup kita. Ini bukan berarti kesempurnaan tanpa dosa, tetapi ini berarti hidup seseorang ditandai dengan keinginan yang tulus dan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengejar kekudusan itu, yang tanpanya tidak seorang pun dapat melihat Tuhan (Ibr 12:14).
“Berbahagialah orang yang membawa damai” (Mat 5:9). Sang pembawa damai pertama-tama berusaha untuk berdamai dengan sesamanya. Seperti yang dikatakan Paulus, “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang” (Rom 12:18). Itu artinya kita mengambil inisiatif untuk berdamai, bahkan ketika kita telah dirugikan. Hanya jika kita memiliki sikap ini terhadap diri kita sendiri, barulah kita dapat menjadi pembawa damai bagi orang lain.
Mereka yang berusaha untuk menghidupi ketujuh Sabda Bahagia ini umumnya akan menonjol di masyarakat. Orang akan mengira bahwa masyarakat akan mengagumi dan menghargai mereka yang hidupnya ditandai dengan karakteristik ini. Tetapi biasanya, yang sebaliknyalah yang terjadi. Masyarakat tidak menghargai kerendahan hati karena itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai mereka. Sebagai akibatnya, Anda mungkin dicerca dan bahkan dianiaya, namun pada akhirnya Anda akan diberkati karena “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati” (Yak 4:6).
More
Less
Experience
Years of experience: 15. Registered at ProZ.com: Apr 2012.
I am a native Indonesian, with a fluent English skill (verbal and written). I have been studying English since 1987, academically in high school and also from various language schools, such as TBI (The British Institute) and EF Foundation.
I got my Master's degree in Computing Science from UK and worked in Singapore as an Analyst Programmer. The experience of living in English-speaking countries have greatly improved my English language ability.
I have done some English-Indonesian interpreting projects for religious group in Indonesia. We had speakers from Australia, Phillippines, India, USA, and that gives me experience to listen to the different English accents.
As a freelance translator I have done some software translation and localization projects, including:
- translation of religious articles
- translation of Multilizer website & software
- translation of a social game app
- translation of iPhone app and games
- translation of legal and environmental documents & training materials
I have done some English transcription projects too.
I believe in this globalization era, language should not become a barrier. Let me help to translate your project in the language I know best – Indonesian.
This user has reported completing projects in the following job categories, language pairs, and fields.