This site uses cookies.
Some of these cookies are essential to the operation of the site,
while others help to improve your experience by providing insights into how the site is being used.
For more information, please see the ProZ.com privacy policy.
Freelance translator and/or interpreter, Verified site user
Data security
This person has a SecurePRO™ card. Because this person is not a ProZ.com Plus subscriber, to view his or her SecurePRO™ card you must be a ProZ.com Business member or Plus subscriber.
Affiliations
This person is not affiliated with any business or Blue Board record at ProZ.com.
English to Indonesian: CONSTANCY OF THE SPEED OF LIGHT
Source text - English The Relativity Principle is one of the two postulates from which Einstein derived the consequences of relativity theory. The other postulate concerns the speed of light, and it is especially important when comparing observations between two inertial reference frames in relative motion, since we rely chiefly on light to make observations.
You recall that when Einstein quit high school at age 15 he studied on his own to be able to enter the Swiss Polytechnic Institute. It was probably during this early period that Einstein had a remarkable insight. He asked himself what would happen if he could move fast enough in space to catch up with a beam of light. Maxwell had shown that light is an electromagnetic wave propagating outward at the speed of light. If Albert could ride alongside, he would not see a wave propagating. Instead, he would see the “valleys” and “crests” of the wave fixed and stationary with respect to him. This contradicted Maxwell’s theory, in which no such “stationary” landscape in free space was possible. From these and other, chiefly theoretical considerations, Einstein concluded by 1905 that Maxwell’s theory must be reinterpreted: the speed of light will be exactly the same—a universal constant—for all observers, no matter whether they move (with constant velocity) relative to the source of the light. This highly original insight became Einstein’s second postulate of special relativity, the Principle of the Constancy of the Speed of Light:
Light and all other forms of electromagnetic radiation are propagated in empty space with a constant velocity c which is independent of the motion of the observer or the emitting body.
Translation - Indonesian Prinsip Relativitas adalah salah satu dari dua dalil yang didapatkan Einstein dari teori Relativitas. Dalil yang satu lagi adalah tentang kecepatan cahaya, yang sangat penting terutama untuk membandingkan pengamatan dari dua kerangka acuan yang bergerak relatif, karena kita mengandalkan cahaya sepenuhnya untuk melakukan pengamatan.
Ketika berhenti sekolah pada umur 15 tahun, Einstein belajar sendiri untuk masuk ke Swiss Polytechnic Institute. Kemungkinan besar pada saat itulah Einstein mendapatkan pengertian yang mendalam dan luar biasa. Einstein bertanya pada dirinya sendiri, apa yang terjadi jika dia dapat bergerak sangat cepat, setara dengan kecepatan cahaya. Maxwell telah menunjukkan bahwa cahaya adalah gelombang elektromagnetik yang menyebar pada kecepatan cahaya. Jika dapat bergerak setara dengan cahaya, Einstein tidak akan melihat gelombang yang bergerak. Einstein akan melihat �bukit� dan �lembah� gelombang yang tidak bergerak dan ada pada posisi dan jarak yang tetap terhadapnya. Hal ini bertentangan dengan teori Maxwell, di mana tidak mungkin ada benda yang tidak bergerak dalam ruang kosong. Berdasarkan pada hal ini dan hal lain, berdasarkan pertimbangan teoritis, pada tahun 1905 Einstein meyimpulkan bahwa teori Maxwell harus diinterpretasi ulang : kecepatan cahaya akan persis sama untuk semua pengamat, tanpa mempermasalahkan apakah pengamat tersebut bergerak (dengan kecepatan tetap) relatif terhadap sumber cahaya. Pengertian Einstein yang original ini menjadi dalil kedua dari relativitas khusus, yaitu Prinsip Kekonstanan Kecepatan Cahaya:
Cahaya dan semua bentuk radiasi elektromagnet merambat di ruang hampa pada kecepatan tetap c, yang tidak terikat pada gerakan pengamat atau gerakan sumber cahaya.
Indonesian to English: CANDI MENDUT
Source text - Indonesian Candi Mendut merupakan candi kedua terbesar di daerah Kedu setelah Borobudur. Candi ini terletak di desa Mendut, Mungkid, Magelang, berjarak sekitar 38 km ke arah barat laut kota Yogyakarta dan 3 km dari Candi Borobudur. Candi mendut bersifat Budhistis dan terkait erat dengan Candi Borobudur serta Candi Pawon. Bahkan ketiga candi tersebut merupakan suatu kesatuan dan berada dalam satu garis lurus.
Candi Mendut juga tidak diketahui secara pasti tahun pembangunannya dan raja yang berkuasa saat itu. Namun J.G. de Casparis dalam disertasinya menghubungkan Candi Mendut dengan raja Indra, salah seorang raja keturunan Sailendra. Sebuah prasasti yang ditemukan di desa karangtengah berangka tahun 824 M yang dikeluarkan raja Sailendra lainnya yaitu Samarattungga, menyebutkan bahwa raja Indra ayah Samarattungga telah membangun sebuah bangunan suci bernama Venuvana (hutan bambu). Jika pendapat Casparis ini benar, maka Candi Mendut didirikan sekitar tahun 8000 M juga. Data lain yang dapat digunakan sebagai pertanggalan Candi mendut adalah ditemukannya tulisan pendek (bagian dari mantra Budhis) yang diduga berasal dari bagian atas pintu masuk. Dari segi paleografis tulisan tersebut ada persamaan dengan tulisan-tulisan pendek pada relief Karmawibhangga di Candi Borobudur sehingga diduga Candi Mendut sezaman dengan Borobudur dan mungkin lebih tua.
J.G. de Casparis berpendapat bahwa Candi Mendut dibangun untuk memuliakan leluhur-leluhur Sailendra. Di bilik utama candi ini terdapat 3 buah arca yang menurut para ahli arca-arca tersebut diidentifikasi sebagai Cakyamuni yang diapit oleh Bodhisatwa, Lokeswara dan Bajrapani. Dalam kitab Sang Hyang Kamahayanikan disebutkan bahwa realitas yang tertinggi (advaya) memanifestasikan dirinya dalam 3 dewa (Jina) yaitu : Cakyamuni, Lokesvara, dan Bajrapani. Sebagai candi yang bersifat Budhistist, relief-relief di Candi mendut juga berisi cerita-cerita ajaran moral yang biasanya berupa cerita-cerita binatang yang bersumber dari Pancatantra dari India.
Translation - English Candi Mendut is the largest temple in the area of Kedu after Borobudur. This temple is located at Mendut, Mungkid, Magelang, about 38 km northwest from Yogyakarta and 3 km from Candi Borobudur. Candi Mendut is a Buddhist temple and firmly related to Candi Borobudur and Candi Pawon. Moreover, those three temples represent a unity and are located in one straight line.
The exact year Candi Mendut was build and the King reigned at that era remain unknown. Yet J.G. de Casparis in his dissertation related Candi Mendut to King Indra, one of the Sailendra King. An ancient inscription found in Karangtengah built by Samarattungga – another Sailendra King – remarks the year of 824 M and mentions that King Indra, the father of Samarattungga, had built a sacred edifice namely Venuvana (bamboo forest). If Casparis’ opinion is correct, Candi Mendut was built in 800 M as well. Additional data that can be used as date remark of Candi Mendut is a short manuscript (part of Buddhist mantra) that was reckoned to be a part of upper side of Candi Mendut’s entrance. From the facet of palaeography, the manuscript has similarity with short manuscripts on Karmawibhangga relief on Candi Borobudur. Hence Candi Mendut is probably from the same era with Candi Borobudur, or older.
J.G. de Casparis considered that Candi Mendut was built to worship the ancestors of Sailendra. In the main room are three statues which according to the experts are indentified as Cakyamuni flanked by Bodhisatwa, Lokeswara and Bajrapani. The book of Sang Hyang Kamahayanikan mentions that the highest reality (advaya) manifests as three gods (Jina) : Cakyamuni, Lokeswara, and Bajrapani. As a Buddhist temple, the reliefs of Candi Mendut contain moral teaching, usually in the form of animal story, originated from Pancatantra from India.
More
Less
Experience
Years of experience: 19. Registered at ProZ.com: Mar 2008.